Raden Adjeng Kartini Biography, the Originator of Indonesian Women's Emancipation
Biography Biography
1.26K subscribers
103 views
3

 Published On Jun 8, 2020

Raden Adjeng Kartini atau lebih sering dikenal dengan nama R. A. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879, dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa. Kartini adalah putri dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M. A. Ngasirah. Sang ibu merupakan istri pertama namun bukan yang utama karena dari kalangan rakyat biasa.


Kala itu, sang ayah merupakan seorang Wedana (kepala wilayah administrasi kepemerintahan di antara kabupaten dan kecamatan). Saat itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan jika ayahnya ingin menjadi bupati, maka harus menikah dengan keturunan priyayi juga.

Ibunya Kartini, Ngasirah, merupakan anak dari Kiai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah, yang merupakan guru agama di Telukawur, Jepara. Sementara ayahnya masih berada di garis keturunan Hamengkubuwono VI.


Sebagai keluarga bangsawan, Kartini mendapatkan pendidikan yang cukup baik dibandingkan perempuan-perempuan lain di zamannya. Ia mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di ELS (Europese Lagere School) sampai usianya 12 tahun. Setelah itu, ia harus menjalani tradisi pingit atau berdiam diri di rumah bagi perempuan. Karena pada masa itu ada tradisi wanita Jawa harus tinggal di rumah dan dipingit.


Kartini merasa dengan tetap tinggal di Jepara ia tidak mendapatkan perkembangan diri, melihat fasilitas yang dimiliki oleh keluarganya, ia pun berharaf untuk melanjutkan sekolahnya ke Jakarta atau ke Belanda. Tapi orangtuanya tidak mengizinkan, meskipun tidak melarangnya untuk menjadi seorang guru.


Selama sekolah di ELS, Kartini sempat belajar Bahasa Belanda. Dengan bakal tersebut, ia tetap belajar dan berkirim surat kepada teman-teman korespondensinya di Belanda, di antaranya Rosa Abendanon dan Estelle "Stella" Zeehandelaar. Tulisan Kartini beberapa kali dimuat dalam majalah De Hollandsche Lelie. Surat-surat yang ditulisnya berisi tantangan-tantangan kehidupan wanita pribumi khususnya tanah Jawa yang membuat wanita sangat sulit untuk meraih kemajuan.


Dari koran, buku-buku dan majalah Eropa, Kartini mulai tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa atau feminisme modern. Timbul cita-citanya untuk memajukan pemikiran perempuan pribumi, karena menurutnya, perempuan pribumi di era Hindia Belanda berada pada status sosial yang cukup rendah.


"Bukan laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot dan adat usang."


Kepeduliannya tidak hanya terhadap masalah emansipasi perempuan tapi juga masalah umum dan sosial. Kartini menatap perjuangan wanita supaya bisa mendapatkan kebebasan, persamaan hukum dan otonomi sebagai salah satu fragmen dari gerakan yang jauh lebih luas.


Pada usia 24 tahun, Kartini diminta orang tuanya untuk menikah dengan K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, 12 November 1903. Suaminya adalah Bupati Rembang yang telah memiliki 3 istri.

Setahun menikah, Kartini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Namun, empat hari setelah melahirkan, ajal menjemputnya. Kartini meninggal pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Ia dimakamkan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.


Berkat kegigihan Kartini yang selalu berpikiran maju mengenai emansipasi wanita, kemudian didirikanlah sekolah wanita oleh Yayasan Kartini di Kota Semarang pada tahun 1912 dengan nama Sekolah Kartini. Kemudian diikuti oleh kota-kota berikutnya yaitu di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan kota lainnya. Yayasan Kartini sendiri dibentuk oleh seorang Belanda bernama Van Deventer yang merupakan tokoh politik etis.


"Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya."

show more

Share/Embed