DPR: KUHAP Tidak Mengatur Batasan Penuntut Umum untuk Susun Surat Dakwaan
Mahkamah Konstitusi RI Mahkamah Konstitusi RI
151K subscribers
772 views
9

 Published On May 30, 2022

JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur batas maksimum bagi penuntut umum untuk menyusun surat dakwaan baru sebagai respon dari dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Di dalamnya hanya mengatur syarat formil dan materil penyusunan surat dakwaan, sehingga sepanjang pokok perkara suatu perkara belum diperiksa lebih lanjut, maka penuntut umum dapat membuat surat dakwaan baru dalam perkara terkait.

Demikian keterangan yang disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam sidang pengujian lanjutan uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Senin (30/5/2022). Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 ini dimohonkan Umar Husni selaku Direktur PT Karya Jaya Satria, yang menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Baca juga: Aturan Mengenai Surat Dakwaan dalam Uji KUHAP Digugat

Lebih lanjut Taufik menyebutkan, surat dakwaan merupakan bagian dari hukum acara pidana dan berdasarkan KUHAP, maka surat dakwaan menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan. Selain itu, sambungnya, hal tersebut juga menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Terkait dengan kasus konkret yang dialami Pemohon di beberapa pengadilan tersebut, dalam hal ini DPR memberikan pandangan bahwa kerugian dan ketidakadilan yang dialami Pemohon demikian, bukanlah akibat dari frasa dari norma yang diujikan.

“Sebenarnya hal demikian terjadi akibat dari penerapan KUHAP oleh penegak hukum yang menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon. Jika pun benar akibat ketidakjelasan norma undang-undang yang diujikan, maka MK dapat melakukan penafsiran yang lebih jelas. Namun jika yang dialami Pemohon adalah kesalahan penerapan hukum, maka Pemohon dapat melakukan upaya hukum lainnya untuk mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa pasal yang diajukan ini bukanlah persoalan konstitusionalitas norma sehingga penyelesaiannya harus dilakukan di kejaksaan,” sampai Taufik dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK yang dihadiri DPR secara daring.

Baca juga: Pemohon Uji KUHAP Mengenai Surat Dakwaan Perjelas Argumentasi Permohonan

Sebelum menutup persidangan, Anwar menyebutkan jika sidang berikutnya akan dilakukan pada Kamis, 9 Juni 2022 pukul 11.00 WIB. Adapun agenda agenda persidangan yakni mendengarkan keterangan dari Kuasa Presiden/Pemerintah. Sebagai informasi, Pemohon dalam kasus konkret telah mendapatkan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atas perkara tindak pidana bidang perpajakan. Akibatnya, Pemohon mendapatkan tiga surat dakwaan, yakni satu putusan dari Pengadilan Negeri Purwokerto dan dua putusan dari Pengadilan Tinggi Semarang. Berkaitan dengan hal ini, Pemohon menilai dirinya dapat saja dikemudian hari mendapatkan dakwaan keempat, kelima, dan seterusnya tanpa adanya batasan yang pasti terhadap proses perbaikan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Namun, sambung Wahyu, yang menjadi permasalahan pada perkara ini, yakni proses surat dakwaan batal demi hukum tersebut dapat saja kemudian dilakukan perbaikan oleh Jaksa Penuntut Umum atau kembali ke proses penyidikan.

Berpedoman dari proses perkara pidana yang telah tiga surat dakwaan terdahulu, Pemohon menilai hal demikian menunjukkan Jaksa Penuntut Umum mengalami kebuntuan dalam melakukan perbaikan. Sebab, kebuntuan tersebut harus diurai atau baru dapat diselesaikan jika proses penyidikan dimulai ulang untuk menata dan menyusun suatu berkas perkara yang komprehensif agar dakwaan tidak dinyatakan batal demi hukum lagi. Lebih lanjut, Pemohon melihat penafsiran terhadap Pasal 143 ayat (3) KUHAP tersebut, Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki batasan dalam memperbaiki dan mengajukan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum juga dapat diajukan perlawanan sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (3) KUHAP. Sehingga, proses peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak terjadi serta Pemohon tidak kunjung mendapatkan kepastian hukum.

Dengan tak adanya pembatasan dalam perbaikan dakwaan itu, Pemohon menilai hal tersebut dapat menciderai rasa keadilan dan kepastian hukum karena kemungkinan Jaksa Penuntut Umum akan mengajukan surat dakwaan untuk keempat kalinya dan sangat mungkin adanya perlawanan untuk keempat kalinya. Untuk itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.(*)

show more

Share/Embed