Panorama Wisata Danau Maninjau dan Kelok 44 via Udara di Kabupaten Agam Sumatera Barat
Tribunnews Tribunnews
12.8M subscribers
24,067 views
0

 Published On Premiered Sep 2, 2022

TRIBUN-VIDEO.COM - Danau di Kabupaten Agam ini merupakan salah satu danau di Sumatera Barat yang memiliki panorama alam yang indah dan memikat.

Maninjau dalam bahasa Minang berati pemandangan atau peninjauan.

Danau Maninjau merupakan sebuah danau yang terbentuk akibat erupsi vulkanik dari Gunung Sitinjau sekitar 52.000 tahun yang lalu.

Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara dari Kota Padang, 36 kilometer dari Kota Bukittinggi, dan 27 kilometer dari Lubuk Basung Kabupaten Agam.

Selain menjadi salah satu destinasi wisata, Danau Maninjau juga merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Sri Antokan.

Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Sri Antokan terdapat PLTA Maninjau.

Daya tarik dari Danau Maninjau ada pada keindahan pemandangan alamnya yang bisa dilihat dari kejauhan.

Jika mengunjungi danau ini dari Kota Bukittinggi, maka kita akan melewati jalan Kelok 44 yang berkelok-kelok.

Di tengah kawasan Kelok 44, sekitar kelok 23 hingga kelok 30 merupakan spot terbaik untuk melihat Danau Maninjau.

Selain itu, bagi para wisatawan yang memiliki hobi memancing juga dapat memancing ikan di Danau Maninjau.

Danau Maninjau terkenal dengan budidaya ikannya yang menggunakan metode Keramba Jaring Apung (KJA).

Ikan yang dapat ditangkap pun sangat bervariasi, namun biasanya para pemancing sering mendapatkan ikan nila dan ikan mas.

Di luar ilmu sains, terdapat sebuah legenda yang berkembang di kalangan masyarakat setempat mengenai asal muasal dari danau ini.

Legenda ini dikenal dengan kisah ‘Bujang Sembilan’, yang menceritakan 10 bersaudara kakak beradik yang terdiri dari 9 orang bujang dan seorang gadis.

Bujang sembilan adalah sebutan untuk sembilan bersaudara lelaki yang tinggal di sebuah kampung kaki Gunung Tinjau.

Bujang Sembilan terdiri dari Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan Kaciak.

Sebenarnya, mereka sepuluh bersaudara dengan seorang adik perempuan bernama Siti Rasani.

Orang tua mereka sudah lama meninggal, sehingga keputusan di rumah itu dipegang oleh si sulung yang bernama Kukuban.

Mereka juga terhitung masih bersaudara dengan pemimpin di kampung tersebut, yaitu Datuk Limbatang.

Baik Bujang Sembilan dan Siti Rasani adalah anak yang giat sehingga Datuk Limbatang, paman mereka kerap mengajari keterampilan untuk bertani dan mempelajari tentang adat setempat.

Hal itu tak lepas dari janji Datuk Limbatang kepada kakak perempuannya yang juga amak dari sepuluh bersaudara tersebut.

Setiap datang ke tempat Bujang Sembilan, istri serta putra Datuk Limbatang yang bernama Giran pun turut serta.

Para lelaki bekerja di ladang, sementara yang perempuan memasak dan berbenah di rumah.

Tanpa diduga, karena kerap bertemu tumbuhlah rasa cinta antara Siti Rasani dan Giran.

Setelah memberanikan diri berbicara di depan kedua keluarga, hubungan mereka pun disetujui oleh kedua keluarga.

Hubungan berlangsung baik hingga pada perayaan panen raya, Kukuban dan Giran berhadapan dalam sebuah pertunjukan adu ketangkasan dalam bersilat.

Giran yang menangkis serangan membuat kaki Kukuban patah, sehingga si sulung merasa dipermalukan.

Sejak itu Kukuban menyimpan dendam, hingga pada suatu hari Datuk Limbatang datang untuk menyampaikan niat Giran meminang Siti Rasani.

Kukuban menolak dengan tegas maksud baik itu karena masih merasa dendam pada Giran.

Hal itu membuat Siti Rasani dan Giran sedih, dan memutuskan untuk berdiskusi di pinggir sungai untuk mencari jalan keluar agar mereka bisa menikah.

Sayangnya setelah berdiskusi panjang mereka tidak juga bisa menemukan jalan keluar dan pada akhirnya Siti Rasani memutuskan untuk pulang.

Baru akan beranjak sebuah tanaman berduri merobek sarung yang ia kenakan, pahanya pun terluka.

Sontak Giran segera mencari tanaman obat untuk mengobati kaki kekasihnya.

Tiba-tiba Bujang Sembilan datang bersama warga dan dengan penuh amarah menuduh mereka melakukan hal yang tidak pantas.

Sidang adat pun dilakukan untuk menentukan nasib dua sejoli tersebut, namun Bujang Sembilan terus memojokkan keduanya.

Pembelaan Siti Rasani maupun Giran tidak didengar dan hukuman pun akhirnya dijatuhkan dengan alasan supaya kampung mereka terhindar dari malapetaka.

Keduanya lantas dibawa ke kawah Gunung Tinjau, hukuman yang telah diputuskan adalah Siti Rasani dan Giran harus dibuang ke dalam kawah.

Sebelum dibuang, Giran berdoa meminta keadilan kepada Tuhan, agar jika tidak melakukan kesalahan, ia meminta agar Gunung Tinjau Meletus dan Bujang Sembilan mendapat kutukan.

Benar saja, setelah keduanya dibuang ke dalam kawah, gunung itu pun meletus dan mengeluarkan lahar yang membinasakan semua orang tanpa ada yang bisa selamat.

Bekas letusannya kemudian menjadi sebuah cekungan yang terisi air dan menjadi sebuah danau yang indah.

Sementara Bujang Sembilan mendapat kutukan, mereka pun berubah menjadi ikan dan hidup di danau yang kini dikenal sebagai Danau Maninjau.(*)

show more

Share/Embed