Tarian Sakral Bedhaya Ketawang Karaton Surakarta | Gusti Moeng
WARTA BUDAYA CHANNEL WARTA BUDAYA CHANNEL
19K subscribers
13,135 views
322

 Published On Premiered Apr 2, 2021

Raja Mataram (lama) Panembahan Senapati hanya tersimpan dalam kerangka pikiran para pelakunya, tetapi bisa terjaga kelestariannya hingga ratusan tahun kemudian di saat Keraton Mataram ing Surakarta Hadiningrat masih berdiri tegak sekarang ini.

‘’Secarik kertas berisi konsep cakepan(lirik gending) iringan karawitan milik Sinuhun PB III, adalah upaya menuangkan kerangka berpikir dalam tulisan.

Pendokumentasian dengan cara itu, adalah contoh modernisasi waktu itu. Kerangka berpikir atas karya tarian Bedaya Ketawang yang dituang dalam tulisan, itu juga modernisasi atas sakralitas kerangka berpikir,’’ ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan, kemarin.

Analisis Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertijah itu, sebelumnya pernah dibahas dalam sebuah diskusi kecil bersama Prof Tamura Fumiko (60) dari Chikushi Jogakuen University, Dazaifu, Fukuoka, Jepang yang berkunjung ke keraton, beberapa waktu lalu.

Karena titik sentralnya masalah sakralitas sajian tari Bedaya Ketawang di upacara adat tingalan jumenengan 2017 - 2021, maka peneliti musik tradisi di beberapa negara di Asia itu juga sempat bertanya apakah sajian tari satu-satunya milik Keraton Surakarta di dua upacara terakhir itu masih disebut sakral? Pertanyaan Prof Fumiko itu dilatarbelakangi oleh penyajian tari Bedaya Ketawang yang dinilai Gusti Moeng ‘’serampangan’’, karena tarian itu dianggap sebagai legitimasi figur raja dan nama besar institusi keraton.

Menjawab pertanyaan itupun, Gusti Moeng lebih menekankan perjalanan karya berlabel sakral yang telah menempuh perjalanan waktu panjang, dari rezim pemerintah Keraton Mataram di Pleret hingga Keraton Mataram ing Surakarta Hadiningrat.

Dari cara menyimpan (mendokumentasi) karya menggunakan teknologi menulis di kertas (waktu itu) hingga menjadi legacy (kini), Sinuhun atau Soesoehoenan PB III terkesan sadar pentingnya menulis (mendiskripsikan) tarian Bedaya Ketawang untuk generasi anak-cucunya. Persoalan dokumentasi memang masalah besar bagi Keraton Surakarta.

Itulah yang membuat Gusti Moeng saat bersama Nancy K Florida dari Ford Fundation (AS), hanya mendapatkan secarik kertas yang berisi konsep penulisan tari dan iringan Bedaya Ketawang yang dibuat Sinuhun PB III ketika hendak membuat microfilm semua naskah koleksi Sasana Pustaka di tahun 1992.

Namun, dari konsep yang ada pada secarik kertas itu bisa menjelaskan panjang lebar tentang karya tarian Bedaya Ketawang. Dari syair-syairnya, telah menjelaskan bagaimana Panembahan Senapati menciptakan tarian itu, bagaimana melukiskan tokoh sentral dalam kisah pertemuan antara Kangjeng Ratu Kidul dengan Sang Panembahan (Raja Mataram).
Bagaimana pula cara menjelaskan pergantian dari Sang Panembahan ke Soesoehoenan, kemudian data-data yang menyebut bahwa penari Bedaya Ketawang ada 9 orang serta lukisan tentang kisah sedih (tangis) Kangjeng Ratu Kidul yang didengar Panembahan Senapati.

‘’Saya melihatnya, Bedaya Ketawang merupakan legitimasi seorang Sinuhun dan Keraton Surakarta penerus Mataram yang hanya digelar saat tingalan jumenenganuntuk melegitimasi semua itu.

Saya tidak menemukan data yang menyebut ada tarian lain untuk tingalan jumenengan di Kesultanan Jogja, Pura Mangkunegaran maupun Pura Pakualaman (Jogja),’’papar mantan penari Bedaya Ketawang, koreografer sekaligus pengasuh abdi dalem Bedaya.


#bedhaya #ketawang #gustimoeng #tari #tradisi #sendratari #karaton #kratonsolo #keraton #surakarta #budaya #koesmoertiyah #wandansari #kratonsurakarta #lestarikankraton #savekraton #budaya #heritage #lembagadewanadat #lda #bedoyo #bedhayaketawang #keraton #kraton #kratonsolo #kratonyogya #kasultanan

show more

Share/Embed