Penangkapan Sukra Karya Goenawan Mohamad | Mazeinda Albiruni
Komunitas CCL Bandung Komunitas CCL Bandung
2.34K subscribers
1,981 views
0

 Published On Dec 19, 2020

Pembaca puisi : Mazeinda Albiruni
Pembimbing : IS
Penata Musik : Mahesa Elgasani, Caesario Mahesa
Dokumentasi : Fahad Alfaj

Puisi Penangkapan Sukra yang ditulis oleh Goenawan Mohamad ini menceritakan bagaimana nasib seorang pemuda bernama Sukra, yang dituduh oleh seorang Raja karena dianggap melecehkan dan membuat sang Raja merasa terhina. Tinjauan berikut tidak lepas dari bagaimana kasus Devide de Impera Belanda pada masa penjajahan kolonial. Masyarakat lokal baik yang memiliki status ataupun tidak, saling diadu domba demi kepentingan politik dari Belanda itu sendiri.

Berkaitan dengan masa pandemi, aktivitas literasi perlu ditingkatkan dan dimantapkan. Hal ini menjadi momentum bagi kita untuk mengetahui bagaimana historis masyarakat Indonesia dulu. Pembacaan perlu ditingkatkan dan dikembangkan. COVID-19 selayaknya membuat kita menjadi lebih kreatif dalam berkarya.

PENANGKAPAN SUKRA
Karya: Goenawan Mohamad
– Variasi atas Babad Tanah Jawi

Namaku Sukra, lahir di Kartasura, 17…, di sebuah pagi
Selasa Manis, ketika bulan telah berguling ke balik gunung.
Waktu itu, kata orang, anjing-anjing hutan menyalak panjang,
tinggi, dan seorang abdi berkata, “Ada juga lolong serigala
ketika Kurawa dilahirkan.”
Bapakku, bangsawan perkasa itu, jadi pucat.
Ia seolah menyaksikan bayang-bayang semua pohon berangkat
Pergi, tak akan kembali.

Pada umurku yang ke-21, aku ditangkap.
Debu kembali ke tanah
Jejak sembunyi ke tanah
Sukra diseret ke sana
Seluruh Kartasura tak bersuara

Sang bapak menangis kepada angin
Perempuan kepada cermin
“Raden, raden yang bagus,
pelupukku akan hangus!”

Apa soalnya? Kenapa aku mereka tangkap tiba-tiba?
Para prajurit itu diam, ketika mataku mereka tutup.
Kuda-kuda bergerak. Aku coba rasakan arah dan jarak. Tentu
saja tak berguna.

Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan itu.
Sampai akhirnya iringan berhenti.
Tempat itu sepi.
“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”
“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya sendiri.”

Ada ruang yang tak kulihat.
Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.
Kemudian mataku mereka buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.

Aku pun tahu, setelah itu
tentang nasibku. Malam itu Pangeran, Putera Mahkota
telah menghunus kehendaknya.
Siapakah yang berkhianat
Kelam atau kesumat?
Kenapa nasib tujuh sembilu
Menghadang anak itu

“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”
(Suara-suara senjata berdetak ke lantai)
“Tidak, Gusti.”
“Kausangka kau pemberani?”

Aku tak berani. Mata Putera Mahkota itu tak begitu nampak,
tapi dari pipinya yang tembam kurasakan geram saling mengetam,
mengirim getarnya lewat bayang-bayang.

Suara itu juga seperti melayang-layang.
“Kau menantangku.”

Kuku kuda terdengar bergeser pada batu.

“Kau menghinaku, kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan
aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan
kerajaanku. Jawablah, Sukra.”

Malam hanya dinding
Berbayang-bayang lembing.

“Hamba tidak tahu, Gusti.”

Bulan lumpuh ke bumi
Sebelum parak pagi.

“Pukuli dia, di sini!”

Duh, dusta yang merah
Kau ingin cicipi asin darah
“Masukkan semut ke dalam matanya!”
Seluruh Kartasura tak bersuara

1979

#fbsuny #universitasnegeriyogyakarta #kreatifhadapipandemi

show more

Share/Embed