MALIOBORO YOGYAKARTA Asal Usul Nama dan Sejarah Ringkas Perkembangannya
MALIBU MALIBU
726 subscribers
5,599 views
64

 Published On Jul 3, 2021

Nama Malioboro biasanya dihubungkan dengan gelar Jenderal John Churchill asal Inggris: Duke of Marlborough. Namun pendapat ini disanggah oleh Dr. O.W. Tichelaar pada tahun 1971 yang berargumen bahwa Malioboro adalah jalan yang terlalu penting untuk diberi nama orang Inggris, apalagi Yogyakarta tidak pernah berada di bawah kendali Inggris secara formal selama periode 1811 – 1816. Pendapat Tichelaar diungkapkan kembali oleh Peter Carey pada tahun 2015. Peter Carey dalam bukunya berjudul Asal Usul Nama Yogyakarta dan Malioboro mengatakan bahwa Jalan Malioboro diperkirakan merupakan jalan raya seremonial atau râjamârga. Jalan ini, khususnya di momen tertentu, dihias atau didekorasi yang dalam bahasa Sanskerta berarti mâlyabhara yang berarti “berhiaskan untaian bunga”. Penggunaan istilah ini sangat wajar sebab kasusastraan India mempunyai pengaruh yang besar di Jawa dalam bentuk kakawin atau puisi berbahasa Jawa kuno.

Argumen Peter Carey di atas cukup kuat, sebab Yogyakarta dibangun berdasarkan konsep mandala yang diengaruhi oleh kebudayaan India. Menurut tradisi India, jalan utama kota atau râjamârga membentang dari timur ke barat dan utara ke selatan tersebut dihiasi dengan untaian bunga atau mâlyabhara saat hari perayaan. Jalan Malioboro, dalam hal ini, juga berfungsi sebagai jalan raya seremonial yang dihiasi beragam bunga saat ada kunjungan terhadap kerajaan.

Secara filosofis, keberadaan Jalan Malioboro sama pentingnya dengan keberadaan keraton, tugu, dan Gunung Merapi yang merupakan axis antara makrokosmos dan mikrokosmos. Axis ini dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai simbol alam semesta atau makrokosmos dengan diri manusia (mikrokosmos). Keharmonisan dua alam ini, jika diseimbangkan, bakal membawa ketentraman hidup.

Pada tahun 1765, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun Benteng Vredeburg untuk mengontrol kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Setelah itu berbagai fasilitas lain dibangun di kawasan ini, seperti Istana Keresidenan Kolonial tahun 1832 (sekarang menjadi Istana Presiden Gedung Agung), Hotel Garuda, dan kawasan pertokoan.

Salah satu tonggak penting perkembangan Malioboro adalah dibangunnya Stasiun Tugu pada tahun 1885 yang resmi beroperasi pada 2 Mei 1887. Karena kehadiran stasiun ini, maka râjamârga terbagi menjadi dua, yaitu Jalan Malioboro di selatan dan Jalan Mangkubumi di utara.
Pada tahun 1880-an Pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan orang-orang China yang lihai berdagang untuk meramaikan perekonomian di sekitar Malioboro. Raja Yogyakarta waktu itu berusaha mengontrol keberadaan orang China dengan melokalisisr di suatu tempat yang sekarang kita kenal dengan Ketandan. Bentuk kontrol yang lain adalah, orang China tidak boleh memiliki tanah di Yogyakarta.

Perkembangan teknologi lampu gas pada tahun 1890 dan peralihan ke penerangan listrik tahun 1917-1921 menjadikan Jalan Malioboro yang semula merupakan jalan raya seremonial dengan pemukiman yang tertata rapi menjadi pusat pertokoan hingga kini.

Bangunan-bangunan asli yang masih tersisa di Malioboro menjadi saksi perjalanannya selama 200-an tahun. Bangunan-bangunan itu mencerminkan perpaduan beragam corak arsitektur India, Jawa, Kolonial, China, dan Indis. Beragam Gaya bangunan ini sudah hampir tenggelam dalam bangunan-bangunan bergaya modern, baliho-baliho, dan kaki lima yang yang menjadi citra Malioboro kini.

show more

Share/Embed