Jenderal Jusuf Bercerita tentang G30S PKI, Soekarno dan Soeharto
Intel Melayu Intel Melayu
198K subscribers
258,864 views
2.5K

 Published On Nov 30, 2023

Jenderal Jusuf Bercerita tentang G30S PKI, Soekarno dan Soeharto

Jenderal M Jusuf dalam buku biografinya banyak bercerita tentang G30S PKI, Soekarno dan Soeharto. Seperti apa ceritanya, simak video ini sampai tuntas.

Dalam buku biografinya,"Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit," yang disusun Atmadji Sumarkidjo, Jenderal M Jusuf bercerita, pada akhir bulan September 1965 ada enam delegasi yang diberangkatkan pemerintah Republik Indonesia ke Cina.

Waperdam Chairul Saleh yang menjadi pemimpin delegasi DPR-GR. Mereka diundang untuk mengikuti perayaan hari nasional RRT yang jatuh pada 1 Oktober 1965. Lalu juga ada delegasi kedua yang dipimpin oleh Menteri Surjadi. Misinya ekonomi.

Dalam tim ini, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen M Jusuf ikut di dalamnya. Delegasi ketiga adalah siswa Sekolah Staf dan Komando AURI (Seskoau). Misi berikutnya adalah delegasi Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) yang dipimpin oleh Gubernurnya Mayjen Wilujo Puspojudo dan rombongan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.

Kemudian juga ada delegasi yang cukup besar dari Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia yang dipimpin oleh Jusuf Adjitorop Simandjuntak.

Selain itu ada delegasi yang terdiri dari para siswa Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas). Yang terakhir ini malah terbang ke Beijing dengan menggunakan pesawat C-130 Hercules milik AURI.

Meskipun mereka mewakili kelompok atau faksi yang berbeda-beda, tetapi semuanya disambut dengan ramah oleh pemerintah RRC. karena pada waktu itu hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina sedang mesra-mesranya.

Presiden Soekarno telah mengumumkan poros Jakarta - Pnompenh- Beijing dan Pyongyang. suatu poros politik yang kental anti-Barat atau anti-Amerika serta
sekutu-sekutunya.

Para delegasi asal Indonesia tersebut ditempatkan di penginapan atau guest house yang berbeda-beda. Tetapi yang pasti staf KBRI atas perintah Dubes Djawoto lalu meminta para anggota delegasi Indonesia itu
menyerahkan paspor mereka, untuk disimpan di "tempat yang aman" di gedung KBRI.

Hampir semua percaya dan menyerahkan paspor mereka. Tetapi ada sejumlah kecil yang tidak mau menyerahkan paspor dengan alasan yang berbeda-beda.

Setelah peristiwa yang terjadi di Indonesia pada 1 Oktober 1965 pagi. para anggota delegasi CC PKI tidak pulang ke Indonesia. Demikian juga Duta Besar Djawoto tetap tinggal di sana, meskipun kemudian diberhentikan dari jabatannya karena tidak mau memenuhi panggilan dari Departemen Luar Negeri untuk pulang ke tanah air.

Djawoto sendiri akhirnya meninggalkan Beijing dan tinggal di Belanda sampai meninggalnya. Ketika itu, salah satu di antara sedikit orang yang menolak untuk menyerahkan paspornya adalah Menteri M Jusuf.

"Saya tidak pernah menyerahkan paspor kepada orang lain," alasan Jenderal Jusuf.

Tetapi yang lain dengan suka hati
menyerahkan paspornya karena masuk akal kalau paspor itu disimpan di Kedutaan Besar Republik Indonesia yang tentunya mempunyai brankas. Apalagi Duta Besar Djawoto adalah orang yang dikenal baik hubungannya dengan sebagian anggota delegasi.

Acara perayaan Hari Nasional RRC pada 1 Oktober 1965 berjalan dengan meriah, dan delegasi Indonesia mendapat perlakuan istimewa karena merupakan kawan terdekat dalam poros Jakarta-Pnompenh-Beijing-
Pyongyang yang anti Amerika Serikat.

Tetapi beberapa jam setelah itu, sebagian besar rombongan mendapat informasi dari tuan rumah bahwa di Jakarta telah terjadi suatu gerakan untuk menyelamatkan Bung Karno. Menteri M Jusuf mendapat informasi dari dua sumber, satu informasi yang "seragam" dari pihak Cina, dan satu lagi informasi lebih akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta.

Termasuk yang menerima informasi yang "seragam" tadi adalah Ketua rombongan, Waperdam Chairul Saleh. Keesokan harinya, Chairul Saleh berusaha untuk bertemu dengan Perdana Menteri Chou En Lai, tetapi permintaan tersebut ditolak.

Setelah itu, Chairul Saleh dengan
berbagai cara berusaha mencari cara untuk pulang ke Indonesia secepatnya.

Menurut Atmadji Sumarkidjo dalam buku yang disusunnya, walaupun pada waktu itu Menteri Jusuf tidak mendengar perkembangan yang terjadi malam harinya di Jakarta, karena ada beda waktu tiga jam antara Jakarta dengan Beijing. Tetapi pada malam itu pula, instingnya mengatakan bahwa ia harus pulang secepatnya ke Indonesia dengan cara apa pun juga.

Rencana ini dikemukakan kepada sejumlah anggota Lemhannas, tetapi persoalannya, paspor-paspor mereka disimpan di KBRI yang sudah tutup sejak sore hari.

Brigjen Jusuf lalu bersama seorang anggota delegasi akhirnya memutuskan untuk pulang. Satu-satunya alat transportasi yang ada ialah kereta api. Pesawat terbang untuk penerbangan domestik praktis tidak ada, dan penerbangan ke Hongkong jadwalnya amat langka.

Kereta api pun perjalanannya bersambung-sambung dari ibukota negara sampai ke Guangzhou jaraknya sekitar 2000 kilometer dan ditempuh dalam dua hari satu malam.

show more

Share/Embed