JOURNEY TO BOTI : Kampung Adat Boti
Jho Quevlanczano Doank Jho Quevlanczano Doank
501 subscribers
410 views
6

 Published On Oct 5, 2019

Tonton, Like, Share, Subscribe YouTube Channel Jho Quevlanczano

INSTRAGAM :   / jho_journey  
FACEBOOK :   / jho.quevlanczano  
YOU TUBE :    / @jho_quevlanczano_doank  

#ntt #journey #jho_quevlanczano

KAMPUNG ADAT BOTI....BERSAMA RAJA BOTI (TTS).

Kebersamaan dan keramahan yang luar biasa.

Nusantara memiliki keragaman suku dan budaya yang unik. Salah satunya Suku Boti yang mendiami enam kampung adat. Mereka adalah keturunan langsung rakyat Kerajaan Boti di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Raja Boti saat ini dijabat Usif Namah Benu.

Kampung Adat Boti terletak sekitar 30 kilometer dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Suku adat yang mendiami pegunungan di Kecamatan Kie ini merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Metu.

Kampung ini terbagi menjadi dua, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi.

Kain tenun Suku Boti di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu.

Warga Boti Dalam masih menganut kepercayaan bercorak animism yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah merupakan mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Uis Pah disebut juga sebagai Dewa Bumi.

Falsafah hidup warga Boti bahwa kesejahteraan dan kemaslahatan hidup hanya bisa didapat dengan menjaga dan merawat alam, “Kita manusia ini menjaga alam, maka alam akan menjaga kembali kita. Ini dipertahankan dari keturunan sampai sekarang masih berjalan,” ujar Namah.

Menurut Namah, ba’i (para pendahulu mereka) mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan tradisi untuk menyatu dengan alam. Mereka menggelar upacara adat tiga kali tiap tahun, yakni saat membersihkan kebun, setelah menanam, dan setelah memanen.

Hasil bumi itu lantas dibawa ke tempat upacara yang disebut Fainmate – yang berada di sekitar hutan larangan. Luas hutan larangan sekitar 1.000-an hektare. Butuh waktu sehari untuk sampai ke hutan itu dari perkampungan Suku Boti.

Di hutan itu juga diterapkan aturan, yakni siapapun tidak boleh mengambil apapun. Jika ada yang melanggar, misalnya mengambil sebatang kayu yang sudah roboh, orang tersebut harus menyiapkan persembahan berupa pemotongan hewan di hutan larangan.

Menurut Namah, hasil bercocok tanam itu biasanya untuk dimakan sendiri oleh warga. Jika warga butuh uang, biasanya mereka menjual kemiri, asam, atau binatang. Pohon kemiri dan asam memang tumbuh banyak di sekitaran Kampung Adat Boti. “Kami cari uang itu untuk beli sesuatu yang tidak kami buat di sini. Yang bisa kami buat di sini, ya tidak perlu membeli,” kata Namah.

Selain Fainmate, tempat ritual lainnya ada di dalam kampung. Bentuknya bundar seperti rumah khas sana. Namun hanya raja yang boleh masuk ke dalamnya. Namah mengatakan di dalam rumah ibadah tersebut tersimpan pusaka peninggalan leluhur.

Dengan ritual yang begitu kental, masyarakat Boti juga memiliki aturan. Mereka tidak menggunakan listrik atau teknologi lainnya. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan mempunyai telepon seluler dan motor. Genset listrik hanya tersedia di rumah tamu. Tak ada satu pun televisi di kampung itu. “Kalau ada televisi, nanti tradisi kami bisa luntur,” ujar Namah.

Meski penerapan ajaran leluhur sangat kental, Kerajaan Boti tetap terbuka terhadap pendidikan. Namah Benu mengatakan warganya tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dia mencoba menyatukan pengetahuan dari pendidikan formal dan tetap memelihara ajaran-ajaran tradisi.

Dari satu keluarga yang mempunyai empat anak misalnya, dua anak harus sekolah formal dan sisanya belajar mengenai tradisi dan adat. Dengan demikian, warga Boti tetap bisa melestarikan adat dan tradisi leluhur tanpa teralienasi dari peradaban.

Masyarakat Boti juga dikenal karena kebijakannya. Mereka tak menghukum pemcuri. Alasannya, pencuri jika barang curiannya habis terpakai, mereka akan mencuri lagi. Solusinya, masyarakat Boti mengumpulkan barang-barang dari seluruh kepala keluarga di Desa Boti, untuk diberikan kepada pencuri.

Bila mencuri hasil panen, misalnya pisang, maka warga menanam pisang sebanyak kebutuhan pencuri. Alam juga sangat dipelihara oleh masyarakat Boti. Bila ada seseorang menebang pohon, mereka menggantinya dengan menanam 5 sampai 10 pohon.

Anak-anak adat di lingkungan sonaf (kerajaan) dibagi menjadi dua. Sebagian diperbolehkan untuk bersekolah,

show more

Share/Embed