Gus Dur || Silsilah Keluarga Gus Dur Salah Satunya Mantan Presiden RI (Sub Indonesia)
NgaNU - Channel NgaNU - Channel
3.25K subscribers
216,518 views
0

 Published On Aug 6, 2020

Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.

Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.  Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.

Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir.  Ia menikmati hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi  Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari upaya tersebut.  Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.

Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi tersebut.

show more

Share/Embed