“Lemang” Makanan Tradisional yang Miliki Makna Sakral Bagi Warga Sungai Penuh
JAMBI28 TV JAMBI28 TV
73.8K subscribers
171 views
6

 Published On Sep 19, 2024

JAMBI28TV, SUNGAI PENUH - Matahari pagi bersinar cerah saat puluhan ibu-ibu warga Kecamatan Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, berkumpul di Gedung Balai Adat Wilayah Depati Payung Pondok Tinggi, Kecamatan Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.

Hari itu, mereka kompak berkumpul dengan mengenakan pakaian tradisional tapau dan terak, atau penutup kepala perempuan dan kain sarung dalam bahasa setempat.

Mereka berkumpul bergotong royong membuat lemang, yang merupakan makanan khas masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh.

Kegiatan membuat lemang biasanya disebut dengan melemang.

Kuliner ini mempunyai bahan dasar seperti ketan, santan, dan garam.

Keunikan pada makanan ini terletak pada cara membuatnya, yang mana ketiga bahan tersebut dimasukkan ke dalam bambu yang masih muda atau biasa disebut buluh oleh masyarakat.

Kemudian, bambu dilapisi daun pisang di dalamnya. Setelah dimasukkan ke dalam buluh, lemang akan dijejerkan ke tempat yang telah disiapkan seperti besi atau kayu penyangga untuk menahan lemang supaya tidak jatuh ketika dibakar.

Proses pembakaran akan berlangsung selama kurang lebih 2 hingga 4 jam dengan menggunakan batok kelapa dan kayu bakar.

"Bahan pembuatan lemang itu ada buluh, daun pisang muda, dan beras pulut," ujar Neti, warga.

Lemang bukan sekadar makanan biasa bagi masyarakat Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh. Lebih dari itu, hidangan ini mengandung nilai tradisi yang mengalir secara turun-temurun.

Bahkan, lemang dijadikan sebagai salah satu lambang sebuah perayaan hari-hari sakral. Artinya, sebuah acara tak akan sempurna tanpa kehadiran makanan yang dimasak di dalam bambu ini.

Lemang merupakan kuliner yang biasa disajikan pada saat Kenduri Sko, Kenduri Sesudah Tuai Padi, menyambut Lebaran, serta perhelatan peringatan 150 tahun Masjid Agung Pondok Tinggi, seperti yang dilakukan saat ini.

Memasak lemang atau melemang yang dilakukan oleh para anak betino (saudara perempuan dari kaum ibu dan suaminya) ini nantinya akan disuguhkan dalam acara Ajun Arah dalam peringatan 150 tahun Masjid Agung Pondok Tinggi.

"Memang kalau adat di Kerinci, memang gitu. Kalau ada acara besar, kita buat lemang,' ujar Hasril Meizar, Ketua Pelaksana Peringatan 150 Tahun Masjid Agung Pondok Tinggi.

Hingga saat ini, memang belum ada petunjuk pasti kenapa dan sejak kapan tradisi memasak lemang dilakukan. Namun, yang jelas, kebiasaan ini tetap dipelihara oleh masyarakat Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh.

Cara memakan lemang juga biasanya disandingkan dengan sebuah pisang dingin dalam bahasa setempat.

Jika lemang yang sudah disajikan bisa disantap oleh para tamu, maka acara tersebut sudah mendapat persetujuan atau bulat air dek pembuluh, bulat kato dek mufakat.

Sementara, pisang yang disajikan merupakan simbol tidak tercerai-berai atau satu kesatuan.

"Melambangkan tradisi di Pondok Tinggi, pertama yang seperti diartikan," ujar Aspar Nasir, tokoh masyarakat Sungai Penuh.

Makanan selalu menjadi bagian integral dari identitas masyarakat sebagaimana agama, bahasa, cerita rakyat, dan elemen-elemen budaya lainnya.

Makanan menghubungkan kita dengan masa lalu, akar, dan tradisi.

Rasa dan aroma dari dapur mencerminkan sejarah, identitas, dan rasa memiliki.

Makanan tradisional mencerminkan signifikansi geografis dan kondisi iklim serta menggambarkan kebijaksanaan dan pengalaman nenek moyang kita dalam mewujudkan tradisi, teknik, dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Itulah sebabnya, lemang sebagai salah satu makanan tradisional khas Sumatera, khususnya Kerinci dan Sungai Penuh, selalu hadir dalam setiap momen budaya yang sifatnya sakral.

Reporter: Tim Liputan

show more

Share/Embed